Esai Perpustakaan 2019 : Cegah Perpecahan dengan Melek Politik di Era Digital

19.46 Damar Tyas 0 Comments

Cegah Perpecahan dengan Melek Politik di Era Digital

Bukan urusan kita membuat seisi bumi menjadi seragam. Tugas kita hidup nyaman, damai, bahagia dengan perbedaan tersebut.
  -Pandji Pragiwaksono

Tahun 2019 merupakan Tahun Politik bagi Indonesia karena digelarnya pemilihan umum Presiden Indonesia sekaligus anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tanggal 17 April. Terdapat 16 parpol nasional dan 4 parpol lokal peserta Pemilu 2019 dengan 2 pasangan calon presiden dan wakilnya. DPT (Daftar Pemilih Tetap) menunjukkan bahwa WNI yang berhak memilih sebanyak 192 juta orang. Di era digital yaitu zaman dimana internet menjadi gaya hidup seperti sekarang ini, pemilihan umum adalah sebuah kesempatan sekaligus ancaman. Hal ini diakibatkan derasnya informasi yang bergulir, baik informasi yang benar maupun berita palsu.
Pemilu dan Perbedaan
Para anggota parlemen serta pasangan presiden yang terpilih dalam pemilu 2019 akan bertugas selama 5 tahun ke depan. Melihat situasi ini, tidak dapat dihindari adanya kampanye yang bertujuan meyakinkan masyarakat untuk memilih calon tertentu. Konten kampanye bervariasi, mulai dari janji penetapan kebijakan tertentu ketika mereka terpilih seperti SIM seumur hidup, kendaraan bebas pajak, ketahanan energi, kartu pra kerja, dan lain sebagainya. Ada juga yang berkampanye dengan saling kritik antar pasangan calon. Perbedaan-perbedaan pendapat dari politikus tersebut mempengaruhi rakyat sebagai target kampanye dan sebagai pemilih. Banyak orang yang terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap pasangan tertentu. Karena terdapat calon yang berbeda, maka perbedaan pilihan di masyarakat nampak sangat kentara. Hal ini tidaklah buruk, karena melatih masyarakat untuk berdemokrasi serta dapat menjadi salah satu cara swing voters atau orang yang belum menentukan pilihan untuk meyakinkan pilihan. Tetapi, dalam kampanye, seringkali isu-isu yang tidak berhubungan dengan program kerja dan visi-misi calon dipakai untuk mengunggulkan diri atau menjatuhkan lawan. Misalnya saja isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) selalu menjadi hal yang dipakai dalam kampanye politik, meski sebetulnya para calon anggota dewan serta paslon presiden setuju untuk tidak menggunakan politisasi SARA. Persetujuan tersebut diucapkan dalam Deklarasi kampanye damai pemilu tahun 2019, sesaat sebelum KPU meresmikan pembukaan kampanye. Meski begitu, masih terdapat berita bohong ataupun isu SARA yang beredar di masyarakat meski belum tentu diketahui siapa penyebarnya. Isu sensitif seperti agama paslon, pesantren dan organisasi berbasis agama yang dituduh mendukung paslon tertentu, dan isu-isu lainnya kerap muncul terutama melalui media sosial. Pertanyaan yang muncul adalah sudah siapkah masyarakat Indonesia menghadapi perbedaan yang ada? Apakah masyarakat dapat mencegah perpecahan akibat perbedaan pendapat maupun munculnya isu SARA? Bagaimana agar masyarakat tidak terpecah akibat perbedaan-perbedaan yang ada?
Politik untuk Rakyat
Politik merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan. Politik sangat penting, karena kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pejabat akan  berdampak langsung pada masyarakat. Ada 3 ruang yang akan terpengaruh, yaitu ruang pribadi, rumah tangga, dan publik. Kebijakan yang menyangkut ruang pribadi misalnya hak pendidikan, hak mengekspresikan diri, hak kesehatan, dan lain-lain. Pemerintah dapat menentukan aturan berkaitan dengan anggaran dan kurikulum pendidikan. Efek ini dapat dirasakan langsung oleh pelajar seluruh Indonesia. Sama halnya dengan anggaran dan kebijakan tentang asuransi kesehatan masyarakat seperti BPJS, segala peraturan dan perubahan akan langsung dirasakan masyarakat. Selanjutnya, kebijakan yang diambil oleh pemangku kekuasaan juga mempengaruhi ruang rumah tangga. Harga sembako, harga gas elpiji, tarif listrik, bahkan gaji pegawai dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Contoh kebijakan pemerintah yang berdampak pada ruang publik diantaranya adalah aturan mengemukakan pendapat, aturan berkumpul di ruang publik, penggunaan fasilitas publik, dan aturan parkir. Melihat pengaruh kebijakan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa politik penting bagi masyarakat dan memang sudah sepantasnya masyarakat mengikuti perkembangan politik yang ada agar kehidupan masyarakat dapat berjalan lancar karena kebijakan yang diambil pemimpin yang dipilih benar-benar sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Perkembangan Situasi Menjelang Pemilu
Keadaan Indonesia pra-pemilu 2019 cukup ‘panas’ dan dinamis. Apalagi, pasangan calon presiden dan wakilnya hanya ada 2, sehingga memperbesar kemungkinan benturan perbedaan di masyarakat. Benturan ini sangat dirasakan masyarakat, terutama pengguna media sosial. Buktinya, viralnya Hashtag atau tagar yang cukup kontoversial karena dapat memicu konflik antar pendukung paslon. Tagar yang dimaksud adalah #2019TetapJokowi, #2019GantiPresiden, #2019PrabowoSandi, #Jokowi2Periode, dan #JokowiLagi. Sebenarnya, penggunaan tagar seperti itu tidak dilarang selama tujuannya hanya untuk menyampaikan aspirasi. Tetapi hal ini sangat riskan untuk disalahgunakan karena potensi yang tinggi dalam memecah belah bangsa. Sebagai perbandingan, negara Suriah juga pernah terlibat konflik internal karena permasalahan serupa, yaitu penggunaan tagar.
Tersebarnya kampanye dengan sentimen SARA serta hoax berbau SARA juga menyebabkan panasnya situasi menjelang Pemilu. Masyarakat Indonesia pasti masih ingat dengan kasus Saracen pada tahun 2014 yang menyediakan ‘jasa’ penyebaran hoax melalui 800 ribu akun media sosial. Adanya Saracen menyebabkan masyarakat terpecah oleh isu yang dipertanyakan kebenarannya. Sayangnya, meski pernah terjadi kasus negatif berkaitan dengan hoax seperti Saracen, berita bohong masih bertebaran di media sosial. Dari data yang diperoleh Kemkominfo, selama bulan Agustus-Desember 2018 terdapat tak kurang dari 62 konten hoax terkait Pemilu 2019. Hoax dengan sentimen SARA diantaranya adalah ‘’Banser resmi dukung Prabowo Sandi”,”PDIP menerima kunjungan PKI China”,”Cukong Cina Pendukung Jokowi”, dan “Museum NU di Surabaya menjadi rumah pemenangan Prabowo-Sandi”. Berita bohong yang menyangkut Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan tentu beresiko menimbulkan konflik di masyarakat. Bahkan, meski isu SARA yang ada merupaka sebuah fakta, seharusnya para politikus menanggapi secara bijak karena SARA merupakan isu yang sensitif serta mendorong pada politik identitas yang merendahkan keyakinan yang lain.
Politik identitas merupakan aliran politik dengan melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang punya kesamaan karakteristik, seperti agama, etnis, dan budaya. Misalnya, seseorang memilih hanya berdasar kesamaan etnis atau agama. Hal ini bukan sesuatu yang sepenuhnya salah karena termasuk dalam kebebasan memilih. Yang menjadi masalah adalah ketika identitas ini digunakan sebagai satu-satunya tolak ukur dalam memilih tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kualifikasi seseorang dalam menjalankan tugasnya. Dikhawatirkan pula apabila politik identitas ini terus berkembang, akan ada kelompok-kelompok yang ingin dispesialkan dan meminggirkan kelompok lain yang lebih minoritas. Hal tersebut tentu dapat menghilangkan persatuan NKRI dan melenyapkan keragaman yang ada.
Sebagian masyarakat yang ada pun merasa tidak setuju dengan adanya benturan massa karena perbedaan pendapat serta perdebatan-perdebatan berkaitan dengan isu SARA. Hal itu dibuktikan dengan adanya ‘capres fiktif’ dan masyarakat yang memilih untuk tidak memilih alias masuk ke dalam golongan putih (golput). Capres fiktif yang sempat viral di media sosial, terutama facebook, Instagram, dan Twitter adalah pasangan Nurhadi-Aldo dengan nomor urut 10. Tentu saja, karena fiktif, paslon ini bukanlah paslon presiden yang terdaftar di KPU. Capres guyonan yang diusung “Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik” ini diciptakan oleh 8 pemuda yang merasa gerah dengan kampanye hitam atau hoax yang terjadi dalam dunia politik Indonesia. Para pemuda ini kemudian menjadi ‘timses’ yang mengelola media sosial Nurhadi-Aldo dengan menyajikan posting-posting satire dan humoris berkaitan dengan pemilu. Per tanggal 20 Maret 2019, pengikut akun media sosial Nurhadi-Aldo mencapai 193 ribu orang di facebook; 502 ribu orang di Instagram, dan 118 ribu di Twitter. Melihat jumlah pengikut yang begitu banyak, menunjukkan bahwa sebagian dari masyarakat juga gerah dengan panasnya situasi politik pra-pemilu.
Situasi pra-pemilu yang memanas juga yang memicu meningkatnya potensi angka golput di masyarakat. Sekitar 30% pemilih diprediksi akan memilih golput karena berbagai alasan, mulai dari ideologi, administrasi, hingga kejenuhan masyarakat terhadap isu SARA dan konflik yang muncul dari kubu pendukung paslon yang ada. Secara hukum, golput bukanlah tindak pidana karena termasuk dalam hak kebebasan berekspresi. Namun, perilaku golput dapat berakibat buruk pada negara karena menyebabkan seseorang tidak berpartisipasi dalam menentukan pemimpin. Padahal, pemimpin itulah yang nantinya menentukan berbagai kebijakan yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Perilaku golput tidak serta merta memperbaiki masalah yang ada.
Literasi Budaya dan Kewargaan di Era Digital Sebagai Solusi
Dalam menghadapi adanya budaya yang multikultural di Indonesia, masyarakat perlu mengenal literasi budaya dan kewargaan. Literasi budaya dan kewargaan  merupakan kemampuan individu dan masyarakat dalam bersikap terhadap lingkungan sosialnya sebagai bagian dari suatu budaya dan bangsa. Secara sederhana, literasi budaya dan kewargaan akan membuat kita dapat menghargai keragaman yang ada serta dapat memenuhi tugas kita sebagai warga negara. Bila diterapkan literasi budaya, masyarakat Indonesia akan memandang diversitas atau keragaman yang ada sebagai sebuah kekayaan, bukan sebagai sebab perpecahan. Masyarakat akan dapat menghargai keragaman dan perbedaan yang ada sehingga konflik dapat diminimalkan. Rasa persatuan dan kebanggan sebagai bangsa Indonesia akan semakin kuat, sehingga masyarakat tidak terbagi hanya karena perbedaan etnis atau pandangan politik. Dibanding meributkan perbedaan-perbedaan, masyarakat dapat fokus dalam membangun negara meski dalam perbedaan. Dalam konteks menghadapi pemilu atau politik secara umum, literasi budaya dan kewargaan akan mengajarkan masyarakat untuk dapat berpendapat dan memilih tanpa merendahkan pilihan orang lain serta dapat mencerdaskan masyarakat agar tidak terpengaruh isu-isu SARA.
Beberapa langkah yang dapat diambil dalam mewujudkan Literasi Budaya dan Kewargaan:
1. Pemanfaatan Perpustakaan
Perpustakaan merupakan sumber koleksi buku-buku untuk literasi, baik perpustakaan nasional, daerah, ataupun sekolah. Perpustakaan juga dapat meningkatkan minat masyarakat untuk melakukan literasi melalui berbagai hal yang menarik, seperti kegiatan bedah buku, penyelenggaraan festival literasi budaya dan kewargaan, penyelenggaraan lomba bertema budaya dan kewargaan, dan lain sebagainya. Perpustakaan juga perlu memanfaatkan teknologi untuk menjangkau masyarakat lebih luas, terutama kalangan muda.
2. Sekolah Sebagai Basis Literasi Budaya dan Kewargaan bagi Siswa
Siswa menghabiskan sebagian besar waktu dan pembelajaran di sekolah. Karena itu, pelajaran seperti Pendidikan Kewarganegaraan efektif untuk mendidik siswa berkaitan dengan tugasnya sebagai warga negara. Pelajaran muatan lokal seperti bahasa daerah juga baik untuk mengenalkan budaya lokal bagi siswa. Pelatihan bagi guru juga penting, karena nantinya gurulah yang menjadi rujukan siswa ketika ada hal-hal yang perlu didiskusikan atau ditanyakan. Program pengimbasan sekolah juga berkontribusi positif terhadap tingkat literasi dan mutu pada sekolah-sekolah yang disasar. Pemanfaatan ekstrakurikuler seperti Pramuka, Tari, dan ekstrakurikuler lainnya perlu dimanfaatkan pula dalam mengajak siswa menghargai keragaman. Tenaga pendidik juga harus bisa memilih media yang diminati siswa, misalnya saja memakai presentasi, situs kuis, dan metode-metode lain yang dekat serta familiar dengan siswa yang dibesarkan di era teknologi ini.
3. Pemanfaatan Media Sosial
Saat ini, media sosial memiliki peran yang penting dalam kehidupan masyarakat, terutama anak muda yang masih menjadi pemilih pemula. Maka, akan sangat baik bila media sosial digunakan untuk menyampaikan literasi kebudayaan dan kewargaan. Konten dibuat semenarik mungkin agar pesan yang disampaikan dapat meraih banyak pembaca sesuai target.
Itulah langkah-langkah dalam mewujudkan literasi budaya dan kewargaan. Dapat kita simpulkan bahwa literasi budaya sangat penting untuk menjaga persatuan dan mencegah perpecahan, terutama di tahun politik. Pada hakikatnya, perbedaan merupakan hal yang indah, unik, dan bermanfaat bagi masyarakat sehingga harus dirawat sebaik-baiknya. Seperti pernyataan Ika Natassa dalam Critical Eleven, “Toko buku itu bukti nyata bahwa keberagaman selera bisa kumpul di bawah satu atap tanpa harus saling mencela.” Kita harus percaya Indonesia dapat bersatu dan maju selama rakyat bersedia menghargai perbedaan yang ada.

 Notes:
Esai ini telah dipublikasikan dalam Lomba Esai Perpustakaan tahun 2019 di Kabupaten Magelang.
Diizinkan untuk dipergunakan selain keperluan komersial, dan jika memakai copy beri keterangan sumber.
Use it wise and nicely ;)




You Might Also Like

0 komentar: