Karya Tulis : KOMPLEKS VAN LITH: PELITA PENDIDIKAN KABUPATEN MAGELANG

19.59 Damar Tyas 0 Comments

KOMPLEKS VAN LITH: PELITA PENDIDIKAN KABUPATEN MAGELANG






Oleh:
Damar Tyas Sasmitaningrum
09/XI MIA 4




SMA NEGERI 1 MUNTILAN
Jalan  Ngadiretno 1 Telp. (0293) 587267 Tamanagung Muntilan Kode Pos 56413
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
e-mail : smansa_muntilan@yahoo.com.  Fax : 0293587267
website : www.sman1muntilan.sch.id  atau www.sman1muntilan.cshoolmedia.id





Daftar Isi

HLM.
HALAMAN JUDUL

PENGESAHAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR TABEL

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN


1.
Latar Belakang
1

2.
Rumusan Masalah
2

3.
Tujuan
3

4.
Manfaat
3
BAB II DASAR TEORI


1.
Pentingnya Pendidikan dan Guru
4

2.
Kehadiran Sekolah di Indonesia
6

3.
Pelindungan Cagar Budaya
7
BAB III METODE PENELITIAN


1.
Lokasi Penelitian
9

2.
Obyek Penelitian
9

3.
Metode Penelitian
9

4.
Waktu Penelitian
10
BAB IV PEMBAHASAN


1.
Kompleks Van Lith Masa Kini
12

2.
Siapakah Van Lith?
13

3.
Kolese Xaverius
15

4.
Pendidikan bagi Kaum Perempuan
18

5.
Kontribusi Lulusan Terhadap Masyarakat
20

6.
Upaya Pelestarian
21
BAB V PENUTUP


1.
Simpulan
24

2.
Saran
24
DAFTAR  PUSTAKA
25

Daftar Gambar




Hlm.
1.
Gambar 1
:
Patung torso Van Lith di dalam Museum Misi Muntilan
13
2.
Gambar 2
:
Pelajaran Musik di Kolese Xaverius
15
3.
Gambar 3
:
Murid sekolah perempuan Mendut bersama murid Kolese Xaverius serta Suster, Bruder, dan Rama



Daftar Tabel




Hlm
1.
Tabel 1
:
Jadwal Penelitian
11
















ABSTRAK

Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan dan pembangunan peradaban dengan guru sebagai tonggak utama. Indonesia telah mengalami berbagai era pendidikan, yang dimulai dari masa Penjajahan Belanda. Saat itu, pendidikan terbatas untuk kaum tertentu dan bertujuan untuk menciptakan pegawai, bukan pemikir. Diskriminasi yang terjadi mendorong sebagian orang untuk menciptakan pendidikan yang ideal, yaitu bertujuan untuk mencerdaskan. Para pendobrak di bidang pendidikan berasal dar berbagai kalangan, termasuk dari orang Belanda.
Van Lith merupakan seorang misionaris dari Belanda yang berkarya di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah . Beliau berhasil mendirikan Kolese Xaverius yang mencetak pengajar serta tokoh-tokoh besar bangsa. Beliau juga terlibat dalam pendirian sekolah perempuan. Meski melewati banyak tantangan seperti berbagai peringatan dari Pemerintah Belanda, warga lokal yang belum mengenal agama Katolik, dan jumlah murid yang sedikit, tetapi beliau berhasil mendirikan sekolah yang terbuka untuk semua kalangan dengan pembelajaran berbasis pengetahuan tanpa meninggalkan kebudayaan. Sekolah yang beliau dirikan juga termasuk sekolah yang paling awal berdiri, terutama di daerah Kabupaten Magelang.
Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan metode kualitatif melalui wawancara sumber serta verifikasi situs dalam mengungkap sejarah serta pentingnya peran Kompleks Van Lith dalam dunia pendidikan terutama di daerah Kabupaten Magekang.Peninggalan karya-karya pendidikan Van Lith masih ada hingga sekarang dan menjadi cagar budaya. Di tengah masyarakat yang majemuk dan maraknya isu-isu pemecah belah antargolongan, kehadiran cagar budaya ini dapat menjadi cerminan bahwa perbedaan merupakan kekayaan dan kita harus lebih fokus terhadap hal mendasar dan penting daripada berkonflik hanya karena perbedaan.

Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan aspek mendasar dalam pembangunan suatu bangsa. Pendidikan telah dirintis sejak masa dulu dan akan terus digunakan sampai masa depan. Lembaga, tempat, metode, dan hal-hal lain mengalami berbagai perkembangan dan perintisan. Di daerah Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, terdapat sebuah tempat yang menjadi saksi dirintisnya pendidikan terutama pendidikan keguruan, yaitu Kompleks Van Lith.
Kompleks Van Lith merupakan cagar budaya yang berjasa dalam bidang pendidikan. Sayangnya, banyak orang yang tidak mengetahui tentang status Van Lith sebagai cagar budaya dan perintis pendidikan. Masyarakat umum memandang Kompleks Van Lith hanya sebagai kompleks sekolah dan ibadat umat Katholik. Padahal, Kompleks Van Lith merupakan lembaga pendidikan pertama di Muntilan yang eksis sejak tahun 1900-an. Pendidikan yang diselenggarakan pun tak hanya tentang keagamaan, namun juga pendidikan keguruan dan kebudayaan. Ketidaktahuan dan ketidakpedulian masyarakat akan eksistensi cagar budaya ini dapat berujung pada hilangnya cagar budaya.
Sekarang ini, kompleks tersebut dihidupi hanya oleh murid dan para pemeluk agama Katholik yang beribadah. Sekolah diisi oleh murid dari seluruh Indonesia. Hal itu merupakan sesuatu yang bagus, namun akan sayang sekali jika cagar budaya ini kehilangan nilainya sebagai sebuah tempat yang berkaitan dengan pendidikan bagi semua orang dan memajukan daerahnya. Siswa dari daerah Muntilan atau Kabupaten Magelang pun sangat sedikit persentasenya dibandingkan total kuota. Jika tidak dibenahi, maka akan terjadi missing link dalam sejarah yang menghilangkan nilai-nilai dalam cagar budaya ini.
Seharusnya, sebagai 1 dari 5 cagar budaya yang ada di Muntilan, Kompleks Van Lith juga mendapatkan publikasi yang sama besarnya dengan cagar budaya lain agar masyarakat mengenal dan sadar akan adanya cagar budaya ini. Ke depannya, Kompleks Van Lith bisa dijadikan rujukan dalam studi banding mengenai metode pembelajaran dan sejarah pendidikan serta toleransi beragama dan kebudayaan. Sekolah yang ada harusnya terbuka untuk memberikan ilmu terhadap masyarakat luas, misalnya dengan mengadakan program pertukaran pelajar, showcase, ataupun studi banding. Museum yang terletak di kompleks ini, yaitu Museum Misi Muntilan, sebaiknya lebih diekspos kepada massyarakat luas agar masyarakat tahu dan turut menjaga keberadaan kompleks yang bersejarah ini.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
a. Apa peran Kompleks Van Lith dalam perintisan pendidikan di Kabupaten Magelang?
b. Bagaimana pengaruh kehadiran Kompleks Van Lith terhadap pendidikan masyarakat di Kabupaten Magelang?
c. Bagaimana upaya pelestarian cagar budaya Kompleks Van Lith?



C. Tujuan
Tujuan dari adanya karya tulis ini adalah untuk:
a. Menjabarkan tentang peran Kompleks Van Lith dalam perintisan pendidikan di Kabupaten Magelang
b. Menjelaskan pengaruh kehadiran Kompleks Van Lith terhadap pendidikan masyarakat di Kabupaten Magelang
c. Mendeskripsikan upaya pelestarian cagar budaya Kompleks Van Lith

D. Manfaat
Manfaat karya tulis ini adalah:
a. Mengetahui tentang peran Kompleks Van Lith dalam perintisan pendidikan di Kabupaten Magelang
b. Mengetahui pengaruh kehadiran Kompleks Van Lith terhadap pendidikan masyarakat di Kabupaten Magelang
c. Dapat ikut serta dalam melestarikan cagar budaya Kompleks Van Lith










BAB II
DASAR TEORI

A. Pentingnya Pendidikan dan Guru
Pendidikan dapat meningkatkan taraf hidup manusia. Hal ini dikarenakan pendidikan memiliki banyak pengaruh positif, terutama dalam bidang sosioekonomi. Tingkat ekonomi lebih maju pada negara dengan tingkat pendidikan yang baik.
Negara dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi. PDB merupakan total produksi suatu negara dalam satu tahun yang juga merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional. Jadi, semakin tinggi PDB, semakin tinggi pula pendapatan nasional negara tersebut. Cohen and Soto (2001) membandingkan data tingkat pendidikan masyarakat usia 15-64 tahun dengan data PDB per kapita tahun 1960-2000 di 92 negara dengan kesimpulan,”The regression results depicted imply each year of schooling is statistically significantly associated with a long-run growth rate” dan “…the positive association is substantially larger in the sample of non-OECD countriethan in the sample of OECD countries, which is in line with the pattern of larger returns to education in developing countries discussed…”. Dari data tersebut, dapat dimaknai bahwa pendidikan dapat meningkatkan ekonomi (berdasar PDB), terutama di negara berkembang. Pendapatan individu juga terpengaruh dan meningkat. Hanushek (2007) menyatakan, “Educational quality – measured by what people know – has powerful effects on individual earnings, on the distribution of income, and on economic growth. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan memang memberikan kontribusi positif bagi kondisi perekonomian masyarakat.
Tingkat kejahatan dapat diminamalisir dengan adanya pendidikan. Orang yang telah teredukasi akan lebih mengerti hukum dan bertindak secara rasional. Lochner, Lance, and Enrico Moretti (2004) menyatakan bahwa,”…conclusion: Highschool graduation significantly reduces criminal activity.” Maksudnya, dengan adanya pendidikan minimal hingga tingkat Sekolah Menengah atas, tindak kejahatan dapat menurun secara drastis. Kesadaran dan partisipasi masyarakat sebagai warga negara juga terbangun melalui pendidikan. Sebagai contoh, Milligan, Kevin, Enrico Moretti, and Philip Oreopoulos (2004) menemukan bahwa di Britania Raya dan Amerika Serikat, “Generally, the effect of education on these outcomes is to improve citizenship’’ yang menunjukkan bahwa tingkat edukasi mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam menjalankan tugasnya sebagai warga negara. Selain itu, Dee (2004) menyebutkan “educational attainment, both at the post-secondary and the secondary levels, has large and independent effects on most measures of civic engagement and attitudes.Pernyataan tersebut memberi bukti bahwa pendidikan berhubungan dengan kesadaran warga negara.
Dengan ekonomi yang makmur dan kesadaran warga yang tinggi, taraf hidup masyarakat juga akan membaik. Namun, hal itu akan terwujud bila institusi pendidikan  memadai. Terutama berhubungan dengan ketersediaan guru yang kompeten dan kuantitas sekolah yang dapat menampung seluruh siswa. Hanushek and Wößmann  (2007) menyatakan,”One consistent finding that is emerging from research, albeit largely from developed country experiences, is that teacher quality has powerful impacts on student outcomes.” Dapat dimaknai bahwa kualitas guru memiliki pengaruh kuat terhadap kualitas siswa yang dihasilkan, terutama di negara berkembang. Melihat kondisi Indonesia yang masih berkembang, keberadaan guru dan sekolah berkualitas sangat berpengaruh terhadap kehidupan di masa mendatang. Itulah alasan mengapa keberadaan sekolah sangat penting, terutama sekolah guru.
B.  Kehadiran Sekolah di Indonesia
Pendidikan di Indonesia yang bersifat formal telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Ada pula sekolah swasta, terutama sekolah berbasis agama Islam dan Sekolah Misionaris. Sekolah Negeri atau sekolah yang didirikan dan dikelola oleh pemerintah Belanda pertama kali adalah Europeesche Lagere School (ELS). ELS didirikan pertama kali pada tahun 1817 dan dikhususkan untuk anak-anak peranakan Eropa, Timur Asing, dan Pribumi dari kalangan terkemuka (Sangkot, 2016).
Sekolah guru (kweekschoool) yang pertama dibuka tahun 1852 di Solo. Sekolah guru kemudian dibuka di daerah-daerah lain selain di Solo. Kebutuhan akan guru sangat mendesak setelah tahun 1863. Pemerintah kemudian memutuskan untuk mengangkat guru tanpa melalui proses pendidikan guru pada tahun 1892.
Pendidikan swasta yang terbuka untuk umum diantaranya adalah pesantren dan sekolah Misionaris. Pesantren pertama di Indonesia adalah Pesantren Tegalsari di Pacitan yang didirikan pada tahun 1710 (van Bruinessen, 1999). Awalnya pesantren menitikberatkan pada pendidikan agama. Namun, sejak tahun 1919 pelajaran umum diajarkan (Yunus, 1979). Kegiatan Misionaris dan sekolah misionaris di Indonesia berkaitan erat dengan Belanda, karena para tokohnya berasal dari Belanda. Organisasi yang paling berpengaruh diantaranya adalah Nederlandsch Zendelinggenootschap (NZG) atau Serikat Misionaris Negeri Belanda, Nederlandsch Zendingsvereeniging (NZV), dan Jesuit Order atau Serikat Yesus. Samuel Eliza Harthoorn dan Carel Poensen dari NZG melaksanakan misi di Jawa Timur. Christiaan Albers dan Simon van Eedenburg dari NZV melaksanakan misi di Jawa Barat. Petrus Hoevenaars menjalankan misi di daerah Mendut, Magelang, Jawa Tengah dan Fransiscus van Lith mengabdi di daerah Muntilan, Magelang, Jawa Tengah (Kruithof, 2014). Keduanya berasal dari Serikat Jesuit.
Pastor Van Lith dan Pastor Hoevenaars berkarya bersama di lingkungan kaum Pribumi. Romo Van Lith kemudian mendirikan sekolah guru di Muntilan. Sekolah-sekolah yang didirikan Romo van Lith antara lain: Normaalschool dan Kweekschool yang disebut kolese. Sekolah ini boleh dimasuki oleh kaum pribumi dari daerah manapun dan dari agama apa pun. Dari sekolah inilah penduduk pribumi bukan bangsawan dapat mendapatkan pendidikan.
C. Pelindungan Cagar Budaya
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Sebuah benda atau bangunan dapat ditetapkan sebagai Situs cagar budaya apabila memenuhi empat persyaratan, yaitu: (1) berusia 50 tahun atau lebih; (2) mewakili  masa  gaya  paling  singkat  berusia 50 tahun; (3) memiliki  arti  khusus  bagi  sejarah,  ilmu  pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan (4) memiliki  nilai  budaya  bagi  penguatan  kepribadian bangsa.
Pelindungan  adalah  upaya  mencegah  dan menanggulangi  dari  kerusakan,  kehancuran,  atau kemusnahan  dengan  cara  penyelamatan, pengamanan,  zonasi,  pemeliharaan,  dan  pemugaran cagar budaya. Dasar hukum pelindungan cagar budaya terdapat pada Undang-undang nomor 11 tahun 2010 pasal 56-77. Inti dari undang-undang tersebut adalah bahwa pelindungan cagar budaya dilakukan oleh segenap komponen yang ada, mulai dari pemilik situs, pemerintah, dan masyarakat. Dengan lestarinya cagar budaya, situs tersebut dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat.












BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner dan di lingkungan Kompleks Van Lith.

B. Objek Penelitian
Objek penelitian terdiri atas objek material dan objek formal.
1. Objek material: Kompleks Van Lith
2. Objek formal : Tanggapan masyarakat terhadap keberadaan Kompleks Van   Lith
C. Metode Penelitian
1. Desain (Rancangan) Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif sehingga tidak ada eksperimen atau percobaan. Dalam penelitian ini, data yang dihasilkan merupakan data deskriptif berupa fakta-fakta verbal dan dokumentasi gambar, bukan data perhitungan angka. Data-data kualitatif yang ada dalam penelitian ini memiliki landasan yang kokoh serta memuat penjelasan atas fenomena yang terjadi di lingkup setempat.
2. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
a. Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini, sumber pustaka didapat melalui sumber tertulis. Sumber pustaka yang dimaksud berupa beberapa buku sejarah, undang-undang, penelitian sejarawan, serta hasil tulisan tokoh-tokoh yang terkait dengan situs penelitian.
b. Wawancara
Penulis secara langsung melakukan wawancara pada narasumber yang berkompeten dalam memberikan informasi tentang situs terkait, yaitu tentang Kompleks Van Lith. Narasumbernya adalah Bapak Antonius Tri Usada Sena yang menjabat sebagai Sekretaris Museum Animasi Misioner Muntilan.
3. Kritik Sumber (Verifikasi)
Dalam tahap ini, penulis melakukan analisis terhadap sumber yang digunakan berkaitan dengan kelayakan dan keotentikannya, sehingga didapatkan sumber sejarah dan informasi yang valid dan akuntabel.
4. Interpretasi
Interpretasi maksudnya adalah memberi makna atau menafsirkan fakta dan bukti-bukti sejarah yang ada. Tahap ini sebagai bagian dari pengolahan data yang mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak diperlukan, serta mengorganisasikan data sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan.
5. Penulisan Sejarah (Historiografi)
Dalam tahap ini, penulis mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang didapat dengan menginterpretasikannya ke dalam bentuk rangkaian data deskriptif.
D. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 23 hari, dimulai pada tanggal 6 hingga 28 Maret 2019 dengan rincian sebagai berikut:
Kegiatan
Maret
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Penentuan ide























Pembuatan kerangka penelitian























Pengumpulan sumber pustaka























Verifi-kasi























Interpretasi























Historiografi























Editing























Tabel 1: Jadwal Penelitian



BAB IV
PEMBAHASAN
A. Kompleks Van Lith Masa Kini
Kompleks Van Lith merupakan kumpulan bangunan bersejarah yang didirikan oleh Rama Van Lith pada tahun 1911 di daerah Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Pada awalnya, Kompleks ini terdiri atas Sebuah Gereja, bangunan Susteran, bangunan Bruderan, sebuah lapangan, dan sekolah Kolese Fransiscus Xaverius. Saat ini, bangunan-bangunan tersebut masih ada, namun ada sebagian yang mengalami pengubahan dan penambahan. Bangunan yang masih ada ialah Gereja Santo Antonius, lapangan Pastoran (kini dikelola pemerintah daerah), bangunan Susteran OSF, dan bangunan Bruderan FIC. Bangunan Kolese Xaverius sendiri mengalami beberapa perubahan. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1943, bangunan dipaksa ditutup guna digunakan sebagai kamp interniran orang barat. Tahun 1943, bangunan ini juga terpaksa dibumihanguskan oleh milisi setempat agar mencegah resiko bangunan dipakai sebagai markas Belanda serta sentimen yang ada di masyarakat bahwa misi Katholik yang dilakukan dianggap pro-Belanda. Bangunan ini bisa pulih kembali sekitar tahun 1950 dengan bantuan ordo FIC. Kolese Xaverius pun kembali dibuka. Namun, tahun 1991, Kolese Xaverius ini diubah menjadi SMA Pangudi Luhur Van Lith berasrama yang masih ada dan eksis hingga saat ini. Di sekitarnya juga terdapat situs atau bangunan lain. Ada Kerkhof Muntilan, yaitu kompleks pemakaman khusus tokoh-tokoh Katolik serta bruder-bruder yang pernah berkarya di Muntilan. Saat ini juga sudah ada SD Materdei, SD Pangudi Luhur, SMP Marganingsih, SMP Kanisius, SMK Van Lith, dan bangunan Museum Misi Muntilan. Seluruh bangunan dan situs yang ada masih digunakan dan terawat dengan baik.
Saat ini, kompleks tersebut dikelola oleh Yayasan Kanisius. Yayasan Kanisius merupakan yayasan Katolik yang didirikan oleh Rama Van Lith tahun 1917 yang berfokus pada bidang kesehatan dan pendidikan di Jawa Tengah. Dalam perkembangannya hingga sekarang, sebanyak sekitar 270 sekolah di Jawa Tengah dan Jawa Barat bergabung dengan yayasan ini.

B. Siapakah Van Lith?
 



Gambar 1: Patung Torso Van Lith di dalam Museum Misi Muntilan
Rama Van Lith merupakan orang Belanda yang lahir pada 17 Mei 1863 di dusun Oirschot, Brabant, Belanda. Daerah tempat tinggalnya mengalami suasana peperangan dan penindasan karena dulunya daerah Brabant dimasuki oleh pengaruh Luther padahal terdapat penduduk Katolik dan terjadilah persinggungan yang berakibat pada penghancuran arca-arca gereja, munculnya pajak, penindasan agama dan pemeriksaan-pemeriksaan. Ditambah lagi dengan munculnya wabah penyakit pes. Keadaan mulai membaik setelah adanya undang-undang kebebasan beragama.
Van Lith bukan berasal dari keluarga kaya. Kakek dan Ayah Van Lith bekerja sebagai penjaga gerbang kota. Pada masa itu, lazim ditemukan anak yang bekerja mengikuti pekerjaan orangtuanya. Namun, Van Lith menolak bekerja seperti sang Ayah. Van Lith ingin memiliki pekerjaan yang berguna bagi kemanusiaan. Van Lith akhirnya menempuh pendidikan. Karena keterbatasan biaya, ia hanya dapat mengikuti kursus perguruan. Van Lith merupakan anak yang cerdas, sehingga dengan segala keterbatasan ia tetap mampu mendapatkan hasil yang bagus. Kebetulan ibunya bekerja pada keluarga Katolik yang kaya. Mengingat jasa ibu Van Lith terhadap keluarga kaya tersebut, keluarga itu setuju untuk membiayai pendidikan Van Lith di Seminari. Van Lith berhasil menyelesaikan pelajaran selama 2 tahun dari waktu normal 4 tahun. Van Lith melanjutkan pendidikan Novisiat SJ, filsafat, dan Teologi. Akhirnya, Van Lith ditahbiskan menjadi Imam pada tanggal 8 Desember 1894.
Van Lith mendapat misi untuk penyebaran agama Katolik di tanah Jawa. Pada awalnya beliau merasa tidak memiliki harapan karena di kalangan misionaris Eropa, tanah jawa disebut sebagai “tanah tanpa harapan”. Hal ini dikarenakan di tanah Jawa yaitu wilayah yang merujuk pada daerah Yogyakarta dan sekitarnya masih dikuasai oleh kerajaan. Saat itu, kerajaan Mataram berkuasa dan untuk urusan agama, rakyat hanya boleh beragama sesuai dengan agama sultan. Meski begitu, pada akhirnya Van Lith dan rekannya Hoevenaars berangkat ke Jawa. Sesampainya di Jawa, Van Lith memilih untuk berkarya di Muntilan. Salah satu alasannya adalah karena mustahil melakukan misi di daerah Mataram, sementara itu Muntilan jaraknya cukup dekat dengan Mataram serta memiliki suasana yang tepat untuk penguatan rohani. Dari situlah Kompleks Van Lith di Muntilan mulai mengalami perintisan, pembangunan, dan pengembangan.



C. Kolese Xaverius






Gambar 2: Pelajaran musik di Kolese Xaverius
Pada saat awal melakukan misi, Van Lith kesulitan untuk meyakinkan orang Jawa karen saat itu para Pastor atau Rama yang ada dianggap sama dengan penjajah, karena terdiri dari orang Belanda. Kemudian Van Lith memiliki gagasan untuk memberikan sarana pendidikan bagi masyarakat Jawa. Van Lith berpikir bahwa sebelum masyarakat bisa menerima agama Katolik, masyarakat Jawa yang saat itu masih terbelakang harus medapatkan edukasi agar mereka bisa memiliki pemikiran yang rasional, maju, dan luas. Van Lith memutuskan untuk fokus pada dunia pendidikan.
Tahun 1905 didirikanlah Kolese Xaverius. Sekolah ini tidak memandang perbedaan ras dan golongan. Bahkan, murid yang ada disini kebanyakan adalah masyarakat pribumi atau masyarakat Jawa asli dari agama yang berbeda-beda. Kolese Xaverius berfokus pada pendidikan yang bertujuan untukk menghasilkan guru-guru dan pemimpin yang bisa sejajar dengan siswa lulusan sekolah Belanda. Pada saat itu, sekolah Belanda seperti kweekschool hanya menerima murid dari golongan tertentu serta tujuan pendidikan lebih ke menghasilkan tenaga kerja dibandingkan benar-benar menginginkan rakyatnya cerdas. Kolese Xaverius merupakan kolese pertama di Jawa, bahkan juga merupakan kolese pertama di Indonesia. Sekolah sejenis ini juga masih sangat sedikit saat itu. Di daerah Kabupaten Magelang, Kolese Xaverius yang merupakan bagian dari Kompleks Van Lith dapat dikatakan sebagai perintis Pendidikan, terutama pendidikan guru.
Sekolah yang dirintis oleh Van Lith memiliki sistem yang unik. Keunikannya ada pada pelajaran yang diberikan serta sistem pendidikan yang diterapkan. Pelajaran yang diberikan berfokus pada ilmu pengetahuan umum, seperti sejarah, ilmu alam, seni musik, dan bahasa Belanda. Khusus untuk pelajaran bahasa Belanda, Van Lith memiliki harapan agar kemampuan bahasa Belanda dapt dimanfaat siswanya sebagai pengantar dalam memahami buku-buku ilmiah berbahasa Belanda. Van Lith menginginkan siswa-siswa memiliki pengetahuan dan pemikiran yang maju dan sejajar dengan pemikiran kaum Eropa pada masa itu. Anehnya lagi, meski Kolese Xaverius dikelola oleh Van Lith yang merupakan seorang Rama, tetapi pelajaran Agama tidak menjadi mata pelajaran wajib. Bahkan, jika ada siswa yang menginginkan diajari pelajaran agama, mereka harus membuat permintaan terlebih dahulu dan pelajaran diberikan di luar jam sekolah. Van Lith lebih menekankan nilai-nilai kebaikan universal dibanding pelajaran Agama.
Sistem pendidikan yang digunakan adalah “sistem konvic”. Sistem ini memadukan sistem tradisional padepokan Jawa dan sistem pendidikan modern. Murid-murid diwajibkan tinggal menginap seperti pesantren/padepokan, tetapi yang dipelajari bukanlah pelajaran agama melainkan budaya dan kemasyarakatan melalui pengalaman langsung. Setelah kegiatan pembelajaran di sekolah selesai, murid-murid pulang ke rumah gurunya yang ada di sekitar sekolah. Saat itu, muridnya belum begitu banyak, sehingga masih memungkinkan bagi siswa untuk pulang ke rumah gurunya. Dalam perkembangannya, ketika jumlah murid mencapai ratusan, didirikanlah asrama untuk siswa yang menyatu dengan asrama guru. Pada dasarnya, murid diajak untuk belajar budaya dan kemasyarakatan dengan mengikuti kehidupan sehari-hari gurunya. Karena Kolese Xaverius tergolong baru, maka honor yang diterima para pengajar tidaklah seberapa. Seringkali para guru setelah mengajar lalu pergi ke ladang untuk mendapatkan pemasukan tambahan. Para murid yang tinggal bersama guru akan ikut berladang. Begitu pula ketika ada tetangga yang menyelenggarakan hajatan ataupun ada kematian, maka murid mengikuti gurunya dalam membantu acara ataupun turut melayat. Murid-murid juga diajak untuk mencintai dan melestarikan budayanya, yaitu kebudayaan Jawa. Dengan sistem seperti ini, Van Lith mengharapkan lulusan Kolese Xaverius menjadi orang-orang yang memiliki pemikiran maju layaknya orang Eropa, tetapi tidak melupakan akar dan jati diri sebagai orang Jawa. Boleh saja memiliki kepandaian dan keluasan pikiran seperti orang Eropa, tetapi dalam hati dan perilaku tetap harus menghayati budayanya.
Sistem yang diterapkan oleh Van Lith memiliki kelebihan. Yang pertama, dengan fokus pengajaran lebih kepada ilmu pengetahuan umum, para murid dapat berkembang secara maksimal serta tidak merasa didiskriminasi karena perbedaan agama atau perbedaan-perbedaan lainnya. Yang kedua, dengan sistem konvic, para murid bisa memiliki pola pikir luas seperti orang Eropa tanpa kehilangan rasa bangga sebagai orang Jawa. Sistem konvic juga dapat menghindarkan murid-murid dari efek buruk asrama konvensional yang cenderung mengisolasi dari dunia luar. Murid asrama konvensional cenderung terjebak dalam budaya dan dunianya sendiri serta ketika kembali ke masyarakat akan kesulitan dalam berbaur karena terbiasa dengan suasana dengan aturan homogen yang jarang berinteraksi langsung dengan masyarakat luas. Sistem yang digagas oleh Van Lith ini sangat bermanfaat dan berkontribusi besar terhadap dunia pendidikan, terutama di daerah Kabupaten Magelang dan Provinsi Jawa Tengah.
D. Pendidikan bagi Kaum Perempuan
 




Gambar 3: Murid sekolah perempuan mendut bersama murid Kolese Xaverius serta Suster, Bruder, dan Rama
Van Lith dan kompleks yang dirintisnya juga berpengaruh terhadap pendidikan kaum perempuan, terutama di daerah Kabupaten Magelang dan sekitarnya. Van Lith menginginkan agar kaum perempuan juga mendapatkan pendidikan. Saat itu, kaum perempuan identik dengan urusan rumah, dapur, dan anak. Tetapi Van Lith melihat dalam budaya Jawa bahwa perempuan memiliki peran penting dalam mendukung pekerjaan yang dilakukan kaum lelaki. Contohnya dalam tradisi kenduri. Meski kaum lelaki ada di depan dan melakukan pembicaraan, tapi tradisi tersebut tidak akan lancar tanpa ada peran perempuan yang mengkoordinasi urusan dapur dan urusan acara lainnya. Van Lith juga khawatir tentang kelangsungan ehidupan muridnya di masa depan ketika mereka sudah berkeluarga. Orang yang cerdas tentu membutuhkan pendamping yang cerdas pula agar dapat mendukung kegiatan yang dilakukan. Jika tidak ada pendamping yang sepadan, maka kemungkinan besar akan muncul masalah di keluarga dan berdampak buruk bagi pihak lelaki, perempuan, dan bahkan anak-anak. Atas kekhawatiran tersebut, Van Lith mengupayakan program pendidikan untuk kaum perempuan.
Van Lith bekerja sama dengan suster Ordo Santo Fransiscus (OSF) yang berkarya di daerah Mendut dan Muntilan untuk mendirikan sekolah khusu perempuan. Tahun 1908 didirikanlah sekolah khusus perempuan di Mendut. Sekolah ini termasuk sekolah yang paling awal menjadi sarana pendidikan khusus kaum perempuan. Bahkan, pendirian sekolah ini lebih awal dari pemikiran emansipasi wanita yang diutarakan RA Kartini melalui surat-suratnya yang diterbitkan tahun 1911. Sekolah perempuan Mendut tidak mempermasalahkan golongan dan agama. Murid-murid dari sekolah perempuan Mendut menjalin hubungan yang baik dengan murid dari Kolese Xaverius. Mereka seringkali mengadakan kunjungan yang difasilitasi dengan baik oleh guru-guru. Dengan adanya sekolah perempuan ini, jelas bahwa Van Lith dan kompleks yang didirikannya berpengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan, terutama di daerah Kabupaten Magelang.



E. Kontribusi Lulusan Terhadap Masyarakat
Murid-murid Van Lith setelah selesai belajar di Kolese Xaverius akan mengabdi di masyarakat. Secara garis besar, ada 2 jenis pengabdian yang dilakukan, yaitu pengabdian menjadi guru dan pengabdian di bidang lain.
1. Pengabdian sebagai Guru
Pada mulanya, pengabdian yang dilakukan sebatas menjadi guru di sekolah-sekolah Katolik. Misalnya saja keluarga Schmutzer yang mengelola 12 sekolah di Ganjuran memakai guru yang semuanya lulusan Kolese Xaverius Muntilan. Kemudian berkembang lagi hingga sekolah netral atau sekolah negeri Hindia Belanda juga menerima guru lulusan Kolese Xaverius.
Salah satu lulusan Kolese Xaverius yang terkenal dalam bidang pendidikan adalah Y.B. Mangunwijaya atau yang lebih populer dengan nama Rama Mangun. Rama Mangun disebut sebagai “Ramanya orang Marjinal”, berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang berpihak pada rakyat atau wong cilik. Salah satu kegiatannya yang terkenal adalah dengan pengetahuan arsitekturnya, beliau mengubah pemukiman di bantaran kali Code Yogyakarta yang awalnya kumuh dan identik dengan “sampah” menjadi kawasan yang warna-warni dan indah. Dalam bidang pendidikan sendiri, Rama Mangun percaya bahwa tiap anak telah memiliki bakat dan kecerdasannya masing-masing sehingga tidak bisa dibanding-bandingkan. Beliau seringkali mengkritik kurikulum yang terlalu berfokus pada aspek kognitif dibandingkan sisi keterampilan dan amal. Secara keseluruhan, tokoh ini berpengaruh terhadap pendidikan, terutama bagi kaum “marjinal” dan rakyat kecil.
2. Pengabdian di Bidang Lain
Kolese Xaverius berhasil menghasilkan lulusan yang menjadi tokoh-tokoh besar di berbagai bidang. Ada Cornel Simanjuntak yang menjadi pejuang kemerdekaan sekaligus pencipta lagu-lagu nasional seperti Maju Tak Gentar, Teguh Kukuh Berlapis Baja, Indonesia Tetap Merdeka, dan lain sebagainya. W.J.S. Poerwadarminta, salah satu tokoh sastra Indonesia, merupakan lulusan dari Kolese Xaverius. Karya beliau yang terkenal diantaranya adalah Bausastra Jawa, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Puntja Bahasa Nippon, dan masih banyak lagi.
Selain tokoh-tokoh, lulusan Kolese Xaverius juga mendirikan kantor pers Katolika Wandawa pada tahun 1913 dan majalah bulanan Djawi Sraja pada 1914. di bidang politik, muncul Pakempalan Katolik Djawa. Tahun 1923 muncul gerakan Wanita Katolik Republik Indonesia yang nantinya berkembang menjadi gerakan besar pembela kaum perempuan. Dapat kita simpulkan bahwa Kompleks Van Lith utamanya Kolese Xaverius menghasilkan lulusan yang berkontribusi terhadap perkembangan berbagai aspek masyarakat di tingkat lokal hingga nasional.
F. Upaya Pelestarian
Sudah jelas bahwa Kompleks Van Lith memiliki peran yang besar dan penting dalam perkembangan pendidikan di Kabupaten Magelang ataupun di Indonesia. Kompleks Van Lith juga memiliki sejarah yang panjang dan penting untuk dijaga agar bangsa Indonesia memiliki gambaran perkembangan pendidikan pada masa penjajahan. Karena itu, berdasar Undang-undang nomor 11 tahun 2010 serta Konvensi Warisan Dunia tahun 1972, Kompleks Van Lith yang merupakan situs cagar budaya yang layak untuk dilestarikan dan dilindungi. Beberapa pihak yang seyogyanya terlibat dalam pelestarian situs ini adalah:
1. Pemerintah
Urusan pelestarian cagar budaya Kompleks Van Lith Muntilan seharusnya dikelola oleh pemerintah daerah setempat. Berdasarkan letaknya, maka pemerintah daerah yang berwenang mengurus Kompleks Van Lith adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah dapat ikut melestarikan melalui pembentukan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, misalnya UPTD Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. Pemerintah juga sebisa mungkin mempublikasikan dan mengekspos keberadaan cagar budaya Kompleks Van Lith agar cagar budaya ini dapat dijaga eksistensinya dan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa cagar budaya Van Lith itu ada serta berkontribusi banyak terhadap berbagai aspek di Indonesia, terutama di bidan pendidikan.
2. Pihak Pengelola
Pengelola Kompleks Van Lith saat ini adalah organisasi Kanisius serta pengurus Museum Misioner Muntilan. Sebagai pengelola, maka pihak-pihak tersebut bertanggungjawab terhadap pelestarian obyek yang dikelola. Upaya yang dilakukan diantaranya adalah penyimpanan dan perawatan dokumentasi dan benda-benda bersejarah, penerbitan buku yang berkaitan dengan sejarah Kompleks Van Lith, serta pendampingan terhadap pengunjung Museum Misi Muntilan. Pengunjung museum akan didampingi oleh petugas dari pengurus Museum Misioner Muntilan untuk menerima penjelasan dari barang dan dokumentasi yang disimpan. Kunjungan ke museum bisa dilakukan oleh umat Katolik yang ingin melakukan pendalaman rohani ataupun masyarakat awam yang ingin mengetahui sejarah Kompleks Van Lith.
3. Masyarakat
Tidak ada undang-undang atau landasan konstitusional yang mewajibkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian cagar budaya. Namun, secara moral dan demi kelangsungan cagar budaya kedepannya, masyarakat harus ikut andil dalam melestarikan cagar budaya. Bentuk pelestarian yang dapat dilakukan diantaranya adalah memahami nilai-nilai yang terkandung dalam cagar budaya tersebut, seperti nilai toleransi, perjuangan, keragaman, dan lain sebagainya. Masyarakat juga bisa turut mempublikasikan eksistensi cagar budaya Kompleks Van Lith. Jika cagar budaya ini menjadi populer, maka akan semakin banyak orang yang peduli dan menjaga kelestariannya. Masyarakat juga bisa memberi masukan kepada pemerintah maupun pengelola demi pengembangan dan kelangsungan cagar budaya.







BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Kompleks Van Lith: Pelita Pendidikan Kabupaten Magelang, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kompleks Van Lith berperan dalam perintisan pendidikan khususnya di Kabupaten Magelang terutama bidang pendidikan guru dan pendidikan perempuan.
2. Kompleks Van Lith berpengaruh positif terhadap pendidikan masyarakat di Kabupaten Magelang dengan menyediakan lembaga pengajaran yang tidak diskriminatif, inovatif, dan toleran serta menghasilkan lulusan yang berjasa bagi berbagai aspek kehidupan masyarakat.
3. Upaya pelestarian cagar budaya Kompleks Van Lith dilakukan oleh pemerintah, pihak pengelola, serta
B. Saran
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kompleks Van Lith berjasa terhadap pendidikan yang ada di Kabupaten Magelang, bahkan mungkin di Indonesia. Namun, upaya pelestarian yang ada belum dilakukan secara maksimal, terutama kurangnya peran peerintah daerah serta masyarakat sekitar dalam melestarikan situs ini. Seharusnya pemerintah daerah semaksimal mungkin turut andil dalam melestarikan Kompleks Van Lith. Masyarakat juga harus terlibat supaya situs ini dapat bertahan lama dan memberi manfaat bagi masyarakat luas.
Daftar Pustaka
1. Cohen, Daniel, and Marcelo Soto. 2001. Growth and human capital: Good data, good results. Technical Paper 179, OECD Development Centre, September
2. Dee, Thomas S. 2004. Are there civic returns to education? Journal of Public Economics 88, no. 9-10(August):1697-1720.
3. Hanushek and Wößmann. 2007. The Role of Education Quality in Economic Growth. World Bank Policy Research Working Paper 4122, February 2007.
4. Haryono, Anton. 2009. Awal Mulanya adalah Muntilan: Misi Jesuit di Yogyakarta 1914-1940. Yogyakarta: Kanisius.
5. Kruithof, Maryse. 2014. Shouting in a desert: Dutch missionary encounters with Javanese Islam, 1850-1910. Erasmus University Rotterdam.
6. Lochner, Lance, and Enrico Moretti. 2004. The Effect of Education on Crime: Evidence from Prison Inmates, Arrests, and Self-Reports. American Economic Review 94, no. 1:155-189.
7. Milligan, Kevin, Enrico Moretti, and Philip Oreopoulos. 2004. Does education improve citizenship? Evidence from the United States and the United Kingdom. Journal of Public Economics 88,no. 9-10 (August):1667-1695
8. Nasution, Sangkot. 2016. Strategi Pendidikan Belanda pada Masa Kolonial di Indonesia. UIN Sumatera Utara.
9. Psacharopoulos, George, and Harry A. Patrinos. 2004. Returns to investment in education: a further update. Education Economics 12, no. 2 (August):111-134.
10. Tim Edukasi MMM PAM. 2008. Pendidikan Katolik Model Van Lith: Kisah tentang Nilai-Nilai Misioner dan tantangannya Masa Kini. Muntilan: Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner.
11. Van Bruinessen, Martin. 1999. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Cet. III, Bandung: Mizan.
12. Yunus, Mahmud. 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:Mutiara.

Notes:
Penulis terbuka terhadap kritik dan saran.
Karya tulis ini telah dikirimkan untuk mengikuti lomba karya tulis cagar budaya Provinsi Jawa Tengah tahun 2019.
Hubungi penulis jika membutuhkan rujukan dokumentasi gambar.
Link lengkap dan rujukan : GDRIVE

0 komentar: