Catatan Suasana - Slamet Sukirnanto

21.49 Damar Tyas 0 Comments







Jackpot
Hidup ini: adalah jackpot dimainkan
Logam demi logam masukkan. Tarik –
Sebatang kretek dinyalakan. Asap-asapmu
Berhari. Berbulan. Bertahun. Dan selanjutnya –
Sebelum. Dan sesudahnya selesai semua!
1970
Petani
Seorang bapa
meneteskan air mata
di pojok rumah.
Kandang kerbau kosong
Setahun sudah. Ia tabah
(lelaki jangan menangis)
Namun: kini
sampailah batas
memandam gejolak dalam
Meraih samar
Hari-hari tiada makar
Membuah dalam diri. Menyerah?
Ia menyatu hati
Dengan padas, batu dan besi
Kerikil hanyut –
di dasar arus hatimu!
Sambil mengacungkan golok bermata dua
Ia teriak ke penjuru angkasa
Gemanya memantul dinding langit
Ada dendam kukuh menggigit!
Pada ihwal yang datang
Ia berlarian sejak subuh
Langkah panjang menghentak lantai
menyilang menggapai
dari ujung ke ujung
dusun dan ngarai!
Ke mana tempat bertanya?
Belum usai luka –
ia kehilangan lagi
Rumput
semak
ilalang – dan padang tandus ini!
1976

Telah Aku Saksikan
            Laut
menyerahkan ombak
pada dada dan pundak
ketika panas siang
nafas arus menderas
menggetarkan jalan darah ini
Tuhan, di pantai ini juga
tapak kaki telah hilang
ketika angin rendah
mendorong gelombang
Telah aku saksikan
laut pasang naik
laut pasang surut
(tangis bayi)
asin garam membasahi kaki
(tangis anak-anak)
gemuruh air meninggikan ratap
(tangis pengungsi)
membasahi karang ini
pulang balik perahu cemas
tak mampu menyentuh daratan
bagai dirimu yang mabuk lautan!
Sungguh aku tak mengerti
betapa awan gelap
gelap apa; gelap siapa
kawasan memajang sepi
dihalau gemuruh zaman ini!
Tanjungkarang, Juni 1980
Kepadamu Kusampaikan
Kepak merpati terbang di jaring mentari
Putih-putih bagai berlayar mega megah abadi
Kepak gagak terbang di jaring mentari
Hitam-hitam bagai awan memendam duka yang dalam
            Sungguh, dik, hidup mesti begini
Tentang kasih, maut menagih
Memendam, di dasar hati, antara kau dan aku.
1967
Mahgrib Pun Sampai
Mahgrib pun sampai. Di luar jendela
Senja terbata-bata
Sebelum ayat-ayat terakhir
Sebelum sujud usai
Tuhan. Aku sendiri
Menggugurkan gelisah
Hari ini
Terimalah tutur fasih kami
(Di luar gugur
Daun trembesi)
Tuhan. Sudah sempurna
Angka-angka pada jari
Telah sempurna ayat-ayat suci
Tinggal aku sendiri. Di luar jendela
Semakin sunyi.
1969
Perbawati - Sukabumi
Karena mendung tergeser dari langit
Tundalah kantukmu barang sejam
Mari! Mengurai cahya terang di bukit
Tubuh menggigil dan dingin yang menggigit
Sebelum tiba saatnya
Api pendiangan bakal padam
Bakal kehilangan hangatnya bara
Sebab dalam kegelapan itu
Antara kita tiada mampu
Melahirkan kata-kata
Jiwa dan jiwa yang mengembara
Entah ke Sorga entah ke mana?
Bicaralah lidah yang arif
Adakah kau bawa dendam itu juga
Yang memberat dari pusat kota.
Di sini di antara dua bukit
Percakapan telah bangkit
Dari lembah yang dalam
Mengatas menggapai awan
Mengurai kisah dan peristiwa
Mengeja kembali yang lampau
Dan meraih yang remang
Yang bakal datang
Seperti udara dingin
Mendobrak tulang
Di tengah senyap malam
Ada yang tetap menggetarkan batinmu!
Bicaralah lidah yang arif
Adakah kau bawa dendam itu juga
Yang memberat dari pusat kota?
Perkemahan Budaya Perbawati – Sukabumi, 27 Oktober 1977
Katakanlah Padaku
Katakanlah padaku
Kalau hanya desau anginmu
Bicara sonder kata
Jam makin sarat memutar jarummu
Engkau pun tahu
Kehampaan sungguh pun mencari maknanya
Di luar dirimu, di luar diriku
Kemudian ulurkan tanganmu
Goreskan pada dinding masa lalu
Mari
Bergegas lewat
Tanpa tapak
Tanpa jejak
1968
Angin Sudah Lama Terhenti
Angin sudah lama terhenti
Derak gerbong-gerbong lenyap
Peluit kecil. Di kejauhan
Mencakar-cakar langit.
Percakapan terhenti
Pasangan-pasangan pergi
Debu-debu berteduh di kaki
1971
Perempuan
Bagaikan sungai
Ketika sampan menyusuri
Gaib mimpi –
Menderas ke hilir
Menembus kabut
Menggapai lemah
Dunia lain –
Hanyut dalam senandungmu
Menguraikan was-was
Atau cemas: masuk gerbang
Yang menggetarkan
Pilar-pilar batin
Petualang sesat
Kejantanan dirimu!
Juga yang tak terucapkan
Kegelapan dan samar.
Dataran enggan terang
Bulan mencelupkan wajahnya
Di dasar pusaran kali.
Hanya hati yang hendak
pergi! Meninggi
Namun tertahan
Melingkar –
Bolak-balik
Dan surut tenggelam
Dalam gelegak arus
Batinmu!
Lelaki:
bagaimana bakal dikabarkan kembali?
1974
Ayunan
Berayun, pelan, berayun, buyung
Ada saatnya kita mempermainkan waktu
Maju-mundur menyentuh ujung ruang
Mendesak kekosongan
Berayun, pelan, berayun, buyung
Sambil pejamkan mata barang sejenak
Nikmati sekilas kegelapan dan binar-binar temaram
Sebelum hapus oleh kilatan pijar terang
Berayun, pelan, berayun, buyung
Hirup puas udara segar lapangan
Sebelum angkasa menciut, racun gadus berdesakan
Membangun jasad tidur yang letih
Berayun, pelan, berayun, buyung
Andaikan sempat bertutur berkepanjangan
Tentang mengurai jiwa yang kusut
Bagaimana mengulur di arena keluasan?
Berayun, pelan, berayun, buyung
Adakah burung-burung akan singgah, seperti yang sudah
Menuturkan pengembaraan di alam tak bertepi
Dan sorga tinggal dijangkau setapak lagi
Berayun, pelan, berayun, buyung
Ke mana arah gema mencari pantulan
Janganlah lengah pengamatan jauh jauh
Dan alamat lengkap pusat sasaran
Berayun, pelan, berayun, buyung
Alun irama berturut tanpa suara
Perahu lepas mengarungi laut bayangan
Senandung ihwal pendaratan
Berayun, pelan, berayun, buyung
Susul-menyusul awan di dinding langit
Menebal pada cadar tirai tamasya
Membenahi gelombang gumpalan makna
Berayun, pelan, berayun, buyung
Tahankan dahaga meratapi dinding tenggorokan
Lukisan telaga sumber pusaran
Sekeping wilayah memancar kebeningan
Berayun, pelan, berayun, buyung
Pandanglah menatap, di balik segalanya
Panahlah dengan bijak kabut remang di sana
Dan tiliklah seandainya semesta memagar batas
Berayun, pelan, berayun, buyung
Suara-suara lirih tiada memantul gema
Ada yang meraih lepas
Menghambur wilayah terbuka
Berayun, pelan, berayun, buyung
Bila tiba di belakang, undurkan semusim lagi
Masa lampau yang lengkap dalam kuburnya mengerang
Menggapai, meraih detik-detiknya yang hilang
Berayun, pelan, berayun, buyung
Bila tiba di muka, ujung jari kaki menyentuh
Batas tepian dengan fana
Esok hari kan di sana, jika musim memberi pertanda
Berayun, pelan, berayun, buyung
Pegang kuat-kuat tambang-tambang keyakinan
Peganglah kuat-kuat tambang-tambang angan-angan
Balikkan ke empat penjuru, dengan mata menantang.
Berayun, pelan, berayun, buyung
Adakah yang tersisa dari bersit megah
Ketika cemas menikamkan ujungnya
Dan gontai melangkah harimau luka
Berayun, pelan, berayun, buyung
Bagaikan menyeberangi arus kali
Di sini kemudian reda melecut lepas
Bagian lain yang mengandung gaib
Berayun, pelan, berayun, buyung
Ada yang menggeser, bayangan terlempar jauh
Tanpa bekas di dataran ini
Adakah tragedi lakon menggelar bumi?
Berayun, pelan, berayun, buyung
Pagar kawat merantai tepi
Adakah gelegak getaran arus
Masuk ke dalam. Menembus
Berayun, pelan, berayun, buyung
Bagaikan dewa ruci melayang menjelajah samudra
Kadang menukik menggigir lembah ajaib
Melahap daun kering lantunan suci
Berayun, pelan, berayun, buyung
Tengok jam berapa sudah, hari masih tinggi
Dan nyanyian belum surut sudah
Mengajak bersenda mengayun waktu
Berayun, pelan, berayun, buyung
Sebenarnya dirimu tidak jauh dari bumi
Tetapi betapa sulitnya menapakkan kaki
Hanya sehasta jarak kita, hanya sehasta...
1972
Kidung Akhir Tahun
Seorang tua jalan sendiri
Meninggalkan gerbang duniawi
Tak ada yang lain, kecuali pergi
Lewat jalan akhir dan sunyi!
1966
Tentang Slamet Sukirnanto
Slamet Sukirnanto lahir di Solo, 3 Maret 1941. putra pelukis R. Goenadi. Pendidikannya di jurusan Sejarah Asia Tenggara Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dikenal juga sebagai tokoh demonstran 1966, menjadi Keuta Presidium KAMI pusat (1966-hingga bubar), anggota DPRGR/MPRS (1967-1971) mewakili mahasiswa. Tahun 1973 menjadi redaktur harian Sinar Harapan. Kumpulan puisinya: Kidung Putih (1967), Jaket Kuning (1967), Gema Otak Terbanting (1974), dan Bunga Batu (1979). 

sumber : 


You Might Also Like

0 komentar: